Keberangkatan Pertama, Candi (01)
Langit mulai cerah mengiringi perjalanan Ajax dan kawan-kawan yang tengah melaju menuju sebuah tempat wisata di Kalimantan Selatan. Dengan jarak tempuh sekitar tiga hingga empat jam, para penumpang malah tertidur pulas di jok mereka. Sedangkan yang menjadi supir, Ajax, menghabiskan waktunya yang senyap sembari mendengarkan senandung musik.
"Ini, ya?" monolog Ajax. Ia perlahan masuk ke parkiran tempat wisata yang ternyata cukup ramai akan pengunjung.
Bersamaan dengan berhentinya mesin mobil, tiga teman Ajax yang tadi tertidur pun terbangun dari mimpi mereka masing-masing. Hanya diam selagi mengumpulkan kesadaran. Mata mereka sama-sama mencoba menangkap situasi yang tengah terjadi sekarang.
Terkhusus Zhongli yang notabene-nya memiliki tingkat sensitif yang lumayan tinggi dibanding orang pada umumnya. Ia memandang ke sekitar melalui kaca mobil karena merasa ada hal yang aneh di sekitarnya.
"Kok merinding gini, ya?" batin Zhongli. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk meyakinkan kembali sugestinya yang ternyata memang benar adanya. Bulu kuduk di tangannya berdiri tegak seolah mendapatkan sinyal yang beda.
Diluc yang berada di sampingnya langsung peka jika Zhongli sedang memikirkan hal yang aneh-aneh dan tentu sangat dilarang untuk diberitahukan kepada dua orang di jok depan.
"Gue juga ngerasa ada yang aneh," sahut Diluc lirih. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Zhongli seolah berbisik agar orang di depan mereka berdua tidak bisa mendengarnya. "Tapi, jangan diceritain sekarang. Takutnya yang di depan jadi parno," sambungnya.
Zhongli mengangguk.
"Apa, nih? Kok bisik-bisik berdua?" Kaeya menengok ke belakang. Rupanya ia memerhatikan dari arah sun visor.
"Kepo," tukas Diluc. Ia langsung turun dari mobil untuk menghindari pertanyaan lain. Lalu disusul oleh Zhongli dan Kaeya. Mereka meninggalkan Ajax yang masih sibuk berkutat dengan parkiran.
Untuk mempersingkat waktu, Zhongli pergi beranjak untuk membayar tiket masuk yang terbilang cukup murah baginya. Selesai pembayaran tersebut, mereka langsung saja masuk ke dalam bersama dengan Ajax yang baru selesai memarkirkan mobil milik Pantalone.
Pemandangan yang begitu menakjubkan dan sedikit membuat bulu kuduk Zhongli berdiri. Ajax, Kaeya, serta Diluc mungkin mengira tempat ini hanya tempat wisata biasa. Ada berbagai barang yang diperjualbelikan, seperti mainan anak-anak.
Berbeda dengan perasaan Zhongli yang semakin campur aduk kala menginjakkan kaki masuk ke daerah candi. Ia selalu merasa ada seseorang dan langkah kaki kuda tengah mengikutinya dari belakang.
"Selamat datang."
Deg.
Zhongli membelalakkan matanya kaget saat mendengar ucapan yang sekilas lewat dari telinganya. Ia membatu dalam geraknya dan segera menengok ke arah belakang. Ketiga temannya yang lain juga ikut kaget melihat tingkah laku Zhongli yang berubah.
"Kenapa?" tanya Ajax yang mulai parno.
Merasa tak enak, Zhongli menggeleng untuk menandakan tidak ada yang terjadi. Ia berbohong.
"Lanjutin, yuk." Zhongli kembali melangkah dan sekarang posisinya menjadi yang memimpin.
"Aneh banget lo, anjing," lirih Kaeya kesal. Ia juga ikut parno masalahnya.
Tak ada yang bisa Zhongli lakukan sekarang selain pasrah dan mencoba memenuhi pikiran agak tidak melamun. Itu dikarenakan tempat yang tengah ia kunjungi bersama teman-temannya adalah tempat yang keramat.
Candi Agung namanya. Candi ini sendiri merupakan peninggalan Kerajaan Negara Dipa Khuripan yang dibangun oleh Empu Jatmika abad ke XIV Masehi. Dari kerajaan ini akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin. Pun ada berbagai jenis cerita rakyat yang berkembang di dalamnya.
Salah satunya tentang cerita Putri Junjung Buih yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Kalimantan.
"Wih," takjub Kaeya yang perasaan parnonya langsung hilang kala melihat pemandangan yang tak biasa di depan matanya.
Pria berkulit sedikit gelap itu berjalan memisah dari teman-temannya untuk melihat lebih dekat sebuah gubuk kayu yang kira-kira hanya berdiameter 200 cm.
"Bunga kenanga, ya?" Kaeya mengambil satu tangkai bunga kenanga yang berada di dalam sana dan beranjak pergi untuk kembali menyusul gerombolannya.
Langkah Kaeya yang menjauh pun menjadi pancingan bagi para roh yang berdiam di sana. Salah satu dari mereka malah dengan enaknya berpangku pada pundak Kaeya. Kuku-kuku yang panjang menggores perlahan kulit Kaeya sehingga menanggalkan bekas luka yang tak kasat mata.
Beberapa jam telah berlalu seiring terik matahari yang semakin menampakkan dirinya kepada para penghuni bumi. Dirasa sudah cukup puas dengan pemandangan candi dan rumah adat yang juga terletak di dalam sana, Kaeya akhirnya mengajak ketiga temannya untuk kembali pulang saja. Ia sudah kelelahan.
"Mau mampir ke tempat makan dulu? Kalian laper, 'kan?" tawar Diluc.
"Boleh, tuh. Kalo gak salah tadi gue liat ada yang jual ayam penyet di samping salon gitu," jawab Kaeya setuju.
Setelah sepakat menentukan tempat makan, keempat sekawan itu langsung melaju menuju tempat tujuan berikutnya yang juga searah dengan jalan pulang. Zhongli yang sedari tadi merasa tidak enak karena bulu kuduknya terus berdiri, langsung merasa tenang kala mobil sudah keluar dari zona parkiran.
Rupanya tempat itu memang sedikit aneh.
Tak sampai satu jam, tempat tujuan kini sudah ada di depan mereka. Dengan telaten Ajax memarkirkan mobil tepat di samping warung yang cukup luas tersebut. Di sana terdapat tiga pelayan dengan satu anak kecil yang sepertinya adalah anak dari salah satu pelayan di warung tersebut.
"Kak, itu mukanya kok merah-merah?" Anak kecil yang tadi sibuk bermain ponsel menegur Kaeya dengan bahasa daerahnya.
Cukup dimengerti karena bahasa yang digunakan tidak jauh beda dengan bahasa Indonesia.
"Merah gimana, Dek?" Kaeya bingung. Ia mengambil ponselnya untuk melihat wajahnya yang disebut merah oleh anak kecil tadi.
"Gatau, pokoknya merah kayak darah, hiii~"
Setelah berucap demikian, anak kecil tersebut berlari ke dalam ruangan meninggalkan Kaeya yang sudah mati penasaran.
"Kae, lo tadi di sana gak nyebut macem-macem, 'kan?" lirih Zhongli dengan alisnya yang sudah mengerut.
Kaeya diam, dia berpikir cukup lama untuk kembali mengingat sesuatu.
"Kalo emang gak ada, yaudah. Sini, duduk aja. Jangan sampe ngelamun, ya." Zhongli duduk ke kursi setelah mengingatkan Kaeya. Disusul pula oleh Ajax yang baru selesai memesan makanan dan juga Diluc.
Kaeya sedari tadi tidak ada pergerakan sama sekali. Ia hanya terpaku dalam pemikirannya sendiri. Ingin takut, tapi yang berbicara adalah anak kecil. Masalah lainnya yang dapat membantah, anak kecil memang bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat orang dewasa.
"Udah, jangan dipikirin." Diluc mencoba menenangkan.
Matahari mulai turun menuju tempatnya terlelap seperti hari-hari sebelumnya. Cukup lama rupanya bagi Ajax, Kaeya, Diluc, dan Zhongli untuk menghabiskan makanan mereka dikarenakan porsi yang terus bertambah. Alasannya simpel, mereka mengakui jika masakan pemilik warung memang sangat enak dan khas.
"Langsung cabut ke Banjarmasin aja?" tanya Kaeya.
"Yaiyalah. Lo mau nginep?" Diluc sedikit sinis mendapati pertanyaan Kaeya yang seharusnya sudah memiliki jawaban mutlaknya sendiri.
"Siapa tau mau istirahat sampe besok pagi, 'kan? Ini mah ketara banget sampenya tengah malem," sambung Kaeya menampik sinisan dari Diluc.
"Nginep juga mau nginep di mana? Sayang duit," balas Diluc lagi.
"Udah, guys. Mending di antara lu bertiga gantiin gue nyetir. Capek banget, euy." Ajax mengeluarkan kunci mobil dari sakunya.
Kaeya yang duduk tepat di depannya spontan mengambil kunci tersebut sebagai tanda ia yang akan menyetir kali ini.
"Gue aja."
"Sip." Ajax berdiri dan mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. "Berapa?"
"245 ribu."
Selesai dibayarkan, Ajax dan yang lain langsung beranjak pergi ke mobil untuk melanjutkan perjalanan mereka. Hari semakin larut dengan pemandangan yang cukup indah karena senja kali ini berwarna kuning. Sebuah hal yang memang lumayan jarang ditemui.
"Keren senjanya," ucap Ajax disambut respon setuju oleh yang lain.
Bahkan saat di dalam mobil, Ajax tidak henti-hentinya memandang sekitar tanpa tahu arti dari senja kuning yang sedang terjadi sekarang.
"Daerah depan katanya agak macet gara-gara kecelakaan, mau muter lewat jalan dalam aja?" tanya Zhongli dari jok belakang.
"Jauh?" Kaeya balik bertanya.
"Lumayan, sih. Tapi, macetnya juga parah di depan. Gue liat di berita, ini macetnya panjang banget." Zhongli menjelaskan sembari membaca sesuatu dari ponsel miliknya.
"Yaudah. Lewat jalan dalam aja, Kae." Diluc menepuk jok Kaeya untuk memberikan sinyal paksaan agar orang itu setuju.
Diluc tidak suka kemacetan soalnya.
"Bimbingannya, Bang. Gue gak tau jalan sini soalnya," ucap Kaeya.
Dari cermin, tampak Zhongli mengangguk setuju.
"Belok kiri, Kae. Abis itu lurus aja," perintah Zhongli.
Arah mobil belok sesuai arahan memasuki jalan yang lebih sempit dari sebelumnya. Di samping jalan masih terdapat pepohonan dan beberapa rumah kayu khas masyarakat setempat. Lampu jalan pun masih sangat minim.
"Bang, di depan tetap lurus apa belok kanan?" tanya Kaeya.
Zhongli mengerenyitkan dahinya heran karena dari peta tidak ada jalan selain lurus. Untuk lebih memastikan hal tersebut, Zhongli juga melihat ke arah jalanan di depan.
Tidak ada belokan sama sekali, hanya ada satu jalan.
"Kae, lo lagi gak fokus? Di depan cuman ada jalan lurus aja." Zhongli heran.
Ajax yang ada di jok depan kaget mendengar penuturan Zhongli. Pun Diluc yang sedari tadi sibuk marah-marah karena sinyal ponselnya hilang.
"Ada dua, anjir. Lo gak liat, Bang?" Ajax membantah. Ia menunjuk-nunjuk ke arah depan.
"Maksud lo gimana, Bang? Kok satu?" Diluc ikut bingung.
"Jelas-jelas di depan sana cuman ada satu jalan." Zhongli sedikit meninggikan intonasinya.
"Dua, Bang. Kami aja liatnya ada dua. Iya, 'kan?" Kaeya memelankan laju mobilnya karena akan melewati dua persimpangan jalan.
"Beneran ada yang gak beres," batin Zhongli.
Terdengar helaan napas yang cukup panjang dari Zhongli hingga akhirnya ia menyuruh Kaeya untuk menghentikan laju mobil di tengah hutan yang sepi tanpa lampu jalan.
"Biar gue yang nyetir, kayaknya ada sesuatu." Zhongli lantas ke luar dari mobil beriringan dengan Kaeya yang juga melakukan hal serupa.
Saat sudah turun dari mobil, Zhongli langsung melihat ke atas dan mendapati sesosok makhluk yang melayang dengan warna mata yang merah. Ia sedikit bersyukur karena yang ditemui bukan makhluk yang berwarna merah.
"Pergi," titah Zhongli lirih. Ia menatap sinis ke arah makhluk gaib tersebut.
Merasa tidak mendapat respon, Zhongli akhirnya membaca sesuatu dan kembali menatap ke arah makhluk yang biasa disebut dengan kuntilanak itu.
"Akhirnya."
Kuntilanak yang sempat mengganggu tadi menghilang. Zhongli akhirnya menjadi sedikit tenang meski masih ada sedikit rasa gundah di hatinya.
"Udah semua?" tanya Zhongli sembari melihat kelengkapan teman-temannya.
Lengkap, untunglah.
"Sip, gue jalan. Jangan pada ngelamun, ya."

Komentar
Posting Komentar