Keberangkatan Kedua, Air Panas (01)
"Gantian nyetir, dong. Capek gue," keluh Zhongli. Tangannya sudah terasa sangat kaku karena menyetir cukup lama. Belum lagi sambil menahan gangguan-gangguan yang sedari tadi terus menghampirinya.
Beruntung saja kini Zhongli, Ajax, Diluc, dan Kaeya sudah memasuki wilayah perkotaan yang penduduknya masih ramai berlalu-lalang. Tidak seperti saat mereka berada di daerah kampung tadi.
"Gue aja yang nyetir, Bang." Diluc menawarkan diri karena merasa tak enak. Teman-temannya sudah terkena giliran menyetir soalnya, hanya ia yang belum ikut andil.
Selain karena tak enak, Diluc juga merasa sedikit terganggu duduk di samping Kaeya. Anak itu sedari tadi hanya diam. Tapi, setiap ditanya masih bisa menjawab. Hanya saja terlihat seperti orang yang linglung.
"Itu Kaeya masih aja?" tanya Zhongli sembari menepikan mobil.
"Kenapa, Bang?" sahut Kaeya yang merasa namanya disebut.
"Jangan ngelamun, tatapan lo kosong banget gue liat daritadi." Zhongli menengok ke belakang setelah memberhentikan laju mobilnya.
Deg.
Penampilan Kaeya sekarang membuat Zhongli kaget setengah mati. Ia dapat melihat wajah Kaeya yang sudah berlumuran darah dengan kuku panjang yang melingkar di kepala temannya itu. Pun ada satu tangan pucat yang seolah bergelantungan di leher Kaeya.
"Luc." Zhongli memberi sinyal ke Diluc untuk bertukar tempat.
Diluc tentu langsung mengerti dengan kode yang dimaksud. Ia turun dari mobil beriringan dengan Zhongli yang juga beralih dari jok pengemudi. Dalam lubuk hatinya, ia sedikit bersyukur karena Ajax tengah tertidur sekarang. Jika saja anak itu terbangun, mungkin akan terjadi keributan yang tidak bisa dielak.
"Kaeya," panggil Zhongli.
Di jok depan, Diluc kembali menyalakan mesin mobil untuk melankutkan perjalanan.
"Kaeya ...," panggil Zhongli lagi. Kini tangannya perlahan menyentuh pundak Kaeya yang tinggal beberapa sentimeter lagi akan bersinggungan langsung dengan makhluk yang bertengger di sana.
Zhongli tak bisa menyalahkan sosok itu sepenuhnya, sebab kesalahan itu dimulai dari Kaeya sendiri; mengambil barang milik orang lain sebagai seorang pendatang. Ia juga menyalahkan dirinya sendiri karena tidak sempat memberitahukan larangan-larangan saat berada di tempat yang keramat.
"Jangan ganggu inangku."
Mendengar suara perempuan, Zhongli lantas kembali memerhatikan Kaeya yang masih saja terpaku di tempatnya. Rupanya makhluk yang sedari tadi menumpang di badan Kaeya, mulai berani menunjukkan penampilan sepenuhnya.
"Dari mana?" Zhongli mencoba untuk membuka pembicaraan melalui batinnya.
"Jangan ganggu inangku."
Makhluk itu menatap tajam ke arah Zhongli dengan jari-jarinya yang ia sodorkan ke leher Kaeya seolah memberi sebuah tanda jika ia bisa membawa jiwa itu pergi hanya dengan menusuknya.
"Saya bertanya, kamu dari mana?"
"Jangan ... ganggu ... inang—"
Spontan Zhongli langsung membekap leher Kaeya yang hampir ditusuk oleh makhluk berwujud perempuan tadi. Dengan bermodalkan doa yang dilafalkan, ia mencoba menetralisir gangguan selama perjalanan ke rumah.
"JANGAN."
"Kenapa, Bang?" Ajax terbangun dan langsung menengok ke belakang. Namun, hal tersebut sontak dihalangi oleh Diluc yang sudah mendaratkan tangan kirinya ke jok Ajax.
"Lihat ke depan aja," titah Diluc. Ia gemetar dan takut sebenarnya meski tidak bisa melihat sosok yang berada di badan Kaeya. Hanya aura yang dirasakan sekarang begitu panas dan membuatnya tak nyaman.
Di jok belakang, Kaeya sudah tertidur pulas setelah Zhongli melakukan sesuatu padanya. Entah harus bersyukur atau semakin waspada, Zhongli pun bingung. Perjalanan selanjutnya lumayan beresiko karena kesalahan yang terjadi akibat keawamannya dan ketiga temannya yang lain.
"Udah?" tanya Diluc.
Ajax yang baru bangun semakin bingung dengan kondisi saat ini. Ia merasa seperti ada yang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Udah," jawab Zhongli.
"Ini kenapa, sih?" kesal Ajax.
"Gapapa. Lo lanjut tidur aja. Ini sejam lagi sampe." Diluc mengalihkan pembicaraan.
Komentar
Posting Komentar