Keberangkatan Ketiga, Datang (01)


Diluc dan Zhongli kini telah tiba dari pasar sehabis membeli beberapa barang tambahan keperluan nanti saat di perjalanan. Pasalnya akan membutuhkan waktu 10 jam untuk tiba ke tempat tujuan wisata mereka karena harus menggunakan jalur laut. 

Pun Ajax dan juga Kaeya yang hari ini terlambat bangun karena tragedi kemarin malam, sudah siap dengan setelan kaos oblong mereka. Meski di hati sebenarnya masih merasa begitu khawatir, tapi semuanya ditampik begitu saja dengan ekspetasi tempat wisata yang telah dibayangkan keindahannya.

"Gak ada yang ketinggalan lagi, 'kan?" tanya Zhongli kepada teman-temannya yang lebih muda beberapa tahun darinya itu.

Jujur saja, Zhongli semakin tak yakin dengan liburan kali ini. Walau ia dan yang lain memang sering berwisata, tapi untuk kali ini terasa begitu berbeda karena beberapa hari kemarin mendapat kejadian yang tidak mengenakkan di hati.

"Udah, Bang. Sama Kaeya tadi juga dicek satu-satu," jawab Ajax sembari menyalakan sepuntung rokok untuk ia hisap.

Diluc yang di sebelah Ajax lantas saja menyenggol lengannya. "Asem, bagi satu," pinta Diluc.

Dengan lapang dan tanpa beban, Ajax memberikan satu bungkus rokok miliknya kepada Diluc membiarkannya mengambil sendiri.

"Yang nyetir Kaeya aja kata gue, biar cepet juga sampenya," saran Diluc yang baru menyalakan rokok dari Ajax.

Kaeya yang mendengar penuturan Diluc mengangguk setuju tanpa penolakan. Keadaannya juga telah membaik dari sebelumnya. Ia merasa bugar hari ini.

"Yaudah, mana kuncinya?" tanya Kaeya.

Zhongli dengan lekas menyerahkan kunci mobil pada Kaeya. 

Segera setelah mendapat kunci mobil, Kaeya bergegas masuk ke dalam mobil dan disusul dengan teman-temannya yang lain. Dengan posisi Zhongli yang duduk di depan; Diluc dan Ajax yang duduk di jok kedua.

"Bagasi aman?" Kaeya menengok ke belakang, begitu pula dengan Diluc dan Ajax untuk ikut mengecek kondisi bagasi mobil.

"Aman."

Setelah dipastikan semuanya lengkap, Kaeya langsung menyalakan mesin mobil dan melaju dengan lumayan cepat karena kondisi jalan pagi ini lumayan kosong. 

"Jax, gimana keadaan sekarang? Ada gangguan lagi?" Zhongli membuka obrolan.

Ajax diam sejenak. Ia sebenarnya tak ingin membahas hal itu dan sedari tadi ingin melupakannya. Namun, Zhongli malah membawa kembali ingatan yang menyeramkan itu.

"Gue baik, tapi badan gue tadi pagi sempet kerasa berat." Ajax memberanikan diri untuk menceritakan yang ia rasakan.

Kali ini giliran Zhongli yang terdiam sejenak.

Bedanya, Zhongli bingung untuk memilih pilihan antara memberitahukan pada Ajax atau tetap bungkam.

Perihal keberadaan sosok wanita yang ternyata kembali muncul dan terus mengikuti sejak keberangkatan tadi. Hanya saja wanita itu sekarang tidak bergelantungan di leher Ajax seperti tadi sebelum masuk ke dalam mobil. 

Sebab kini wanita itu tengah duduk di antara Diluc dan Ajax dengan tatapan yang Zhongli yakini mengarah padanya.

Wanita itu tahu bahwa Zhongli bisa 'melihatnya'.

"Kenapa nanya, Bang?" Ajax membuyarkan lamunan Zhongli.

"Jangan ngomong macem-macem, ya." 

Suasana di dalam mobil seketika menyeramkan setelah Zhongli berucap demikian. Diluc yang sepertinya hari ini lebih sensitif merasakan perasaan tak enak yang entah darimana asalnya. Sisi sebelah kanannya terasa panas, tapi juga terasa dingin. Sungguh perasaan yang aneh dan tak bisa dijelaskan secara gamblang oleh Diluc.

"Muka lu pucat banget, Luc." Kaeya sadar dengan perubahan wajah Diluc yang seperti merasa tak nyaman.

Tak ada jawaban dari Diluc. Zhongli sedikit panik mendapatinya. Ia segera menengok ke belakang dan mendapati wanita itu berusaha untuk mengambil kesadaran Diluc. 

"Kae, berhenti." Zhongli menepuk lengan Kaeya untuk memintanya memberhentikan mobil.

Lekas saja Kaeya memelankan laju mobil untuk diparkirkan di bahu jalan. Selepasnya Zhongli langsung turun dan membuka pintu mobil bangku kedua untuk menyadarkan Diluc.

"Luc, tuker sama gue. Ayo." Zhongli menepuk bahu Diluc berkali-kali dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya sibuk memberikan penghalang untuk wanita itu.

Benar saja dugaan Zhongli, Diluc tadi hampir kehilangan kesadarannya. Ia terlihat sedikit linglung.

"Gapapa, Bang?" 

Zhongli mengangguk.

Setelah persetujuan diajukan, Diluc segera berpindah ke jok depan dan Zhongli di jok kedua. Tangannya masih saja sibuk menahan energi wanita itu yang semakin lama semakin brutal. Sebuah tantangan juga bagi Zhongli untuk tetap terlihat tenang agar yang lain tidak panik.

Perlahan tapi pasti, eksistensi wanita itu mulai terserap ke genggaman Zhongli. Setelah semuanya usai terpindah, ia membuang wanita itu ke luar tepat saat mobil melewati lahan kosong yang pohonnya cukup lebat.

"Jangan ... buang ... aku ... lagi ...."

Kalimat akhir yang cukup membuat hati Zhongli terenyuh. Ia tau bahwa wanita itu selama hidupnya mengalami perjalanan yang begitu sulit. Namun, apa daya jika setelah mati ia masih tak bisa menerima takdirnya?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keberangkatan Pertama, Candi (01)

Keberangkatan Pertama, Candi (02)

Keberangkatan Kedua, Air Panas (03)